Sadarta, duduk sendiri di posko pengungsi erupsi Gunung Sinabung, di Masjid Agung Kaban Jahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Senin (20/1/2014) sore. Ia asyik melamun, sambil mengurut kedua kaki di sudut posko pengungsian.
Hiruk pikuk sekeliling tak ia gubris. Kerumunan pengungsi yang merubung Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pun tak mengusiknya. Begitu pula bantuan lima truk yang dibawa Gita tak membuat dia beranjak.
Saat diajak berbincang, bapak dengan dua anak ini juga tidak terlalu bersemangat. Raut wajahnya muram. Ada risau tergambar jelas. Dari obrolan sesudahnya, dia mengaku digelayuti pikiran soal ladang dan rumah yang dihantam debu vulkanik Gunung Sinabung sejak tiga bulan lalu.
Sadarta telah mengungsi selama 2,5 bulan. Seorang istri dan dua orang anak dia bawa serta. Tempat tinggal mereka di Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, hanya berjarak 3,5 kilometer dari kawah Gunung Sinabung yang sedang bergejolak.
Sejak gunung itu mulai "batuk", lokasi rumahnya masuk kawasan berbahaya. Bahkan sejak status aktivitas gunung itu masih Siaga. "Setengah rumah kami sudah tertimbun debu. Kami takut (rumah) ambruk," kata Sadarta.
Hidup yang berputar 180 derajat...
Hidup keluarga ini pun langsung berubah 180 derajat. Di pengungsian, kenyamanan adalah barang langka. Kasur yang biasa menjadi alas tidur di rumah berganti menjadi selembar matras. Semua semakin serba prihatin.
Selama di pengungsian, Sadarta mengaku mendapat cukup bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta. Makanan tersedia, meski seadanya. Demikian pula obat-obatan.
Hanya ada satu masalah, sebut dia, yakni air bersih. Untuk mendapatkan air bersih, dia harus membeli di rumah warga yang berdekatan dengan pengungsian. Satu ember air ukuran sedang harus dia tebus dengan Rp 5.000. Padahal, dia tak lagi mempunyai penghasilan karena ladang yang terselimuti debu Sinabung.
Rencana panen cabai, jagung, dan kopi pupus. Pria berperawakan jangkung ini sudah kehilangan nafkah. Dengan suara parau, dia mengaku tak terlalu pusing dengan kondisi pengungsian. Kelanjutan hidup keluarganya setelah erupsi Gunung Sinabung adalah hal yang membebani pikiran Sadarta hari-hari ini.
Sadarta, yang beristrikan Neni Marlina (36), mempunyai dua anak yang masih kecil. Si sulung baru kelas IV SD dan si bungsu berumur 4,8 tahun. Di tengah obrolan, Neni bergabung menggandeng si bungsu, sementara anak sulung mereka bermain bersama teman sebaya.
Seperti Sadarta, Neni juga mengatakan tak terlalu mempermasalahkan harus hidup seadanya di pengungsian. Selain air bersih, menurut dia, banyak hal masih mencukupi kebutuhan di pengungsian.
Bagi Neni, bukan masalah besar pula bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum sekali pun mendatangi pengungsian korban letusan Gunung Sinabung. Di pikirannya, SBY sebagai kepala negara pasti mempunyai banyak prioritas lain. "Jadi, maklum saja."
Mimpi buruk pengungsi adalah...
Sadarta dan Neni adalah pengungsi yang mengaku mengikuti perkembangan pemberitaan media massa tentang Gunung Sinabung. Apalagi ada surat kabar yang beredar di pengungsian. Karenanya, mereka juga tahu Presiden berjanji akan datang ke pengungsian pada pekan ini.
Neni mengaku ada banyak hal yang ingin dia sampaikan kepada Presiden. Misalnya, Neni berharap Presiden SBY mau menjamin pemulihan kehidupan para pengungsi setelah letusan Gunung Sinabung berlalu.
Tempat tinggal warga yang hancur, harap Neni, bisa pula dibangun kembali. Barangkali saja, imbuh dia, ada bantuan juga dari pemerintah untuk membuka ladang baru setelah kebun-kebun mereka habis tertimbun debu vulkanik.
Sadarta dan Neni barulah dua di antara puluhan ribu warga yang harus mengungsi dalam tiga bulan terakhir karena letusan Gunung Sinabung. Para pengungsi ini sadar, harta yang hilang tak akan gampang diraih kembali.
Setitik harap mereka ungkap, semoga pemerintah mau membantu mereka membuka lembaran baru untuk kehidupan mereka nanti. Bagi mereka, mimpi buruk terbesar bukanlah lontaran lava pijar Gunung Sinabung. Untuk mereka, mimpi buruk adalah ketika anak-anak telantar, apalagi kehilangan pendidikan, karena orangtuanya tak lagi mempunyai penghasilan.
"Kami ikhlas yang sudah berlalu. Tapi kalau Presiden ke sini, ada banyak hal yang ingin kami sampaikan. Buat kami, yang penting masa depan mereka (anak-anak)," ujar Neni lirih, dengan tangan lembut memegang pundak putra bungsunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar