.

Minggu, 20 April 2014

DERETAN "PESONA" DIENG, MANJAKAN MATA



Raung mesin mobil terdengar jelas dan memekakkan telinga ketika supir memainkan gas dengan kaki kanannya. Asap hitam pekat pun menandai "kualitas" kendaraan yang saya tumpangi. Tanjakan cukup curam menanti di hadapan. Sebuah tanda peringatan dengan gambar jalan menanjak kembali mengingatkan pengguna jalan untuk selalu berhati-hati. Saya kemudian memperhatikan jalan sembari sesekali melirik supir di sebelah kanan yang terlihat tenang mengemudi sembari menimpali obrolan sang kernet.
Untuk dapat mencapai Dataran Tinggi Dieng, pelancong dapat menggunakan beberapa rute, misalnya dari Kabupaten Banjarnegara atau Wonosobo. Namun yang menjadi favorit wisatawan adalah rute dari Kabupaten Wonosobo. Entah karena sarana transportasi yang lebih baik atau memang merupakan jalur wisata sejak lama. Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, kita akan dihadapkan perjalanan menanjak berliku yang hanya cukup untuk dilalui dua kendaraan. Bahkan di beberapa titik, salah satu kendaraan harus berhenti terlebih dahulu agar kendaraan dari arah berlawanan dapat lewat duluan.
Terlepas dari itu, kita disuguhi pemandangan alam yang indah. Lereng pegunungan yang berderet rapi tampak seperti undakan hijau yang tertata rapih itu adalah tebing-tebing tanah yang disulap menjadi lahan pertanian. 
Angin menyeruak masuk ke dalam bis dari sela-sela kaca jendela. Sejuk. Ketinggian sudah mencapai lebih dari 1700 mdpl. Sore itu langit tampak cerah. Warna biru memenuhi langit. Kurasakan senyumku mengembang sendiri.
Tidak berapa lama bis kecil ini tiba di pertigaan Dataran Tinggi Dieng. Walau gapura sudah terlihat beberapa waktu lalu, namun tempat yang dituju masih harus menempuh waktu perjalanan sekitar 10 menit lagi. Dan sekarang, aku berdiri sendiri di tepi jalan yang cukup ramai oleh lalu lalang petani yang pulang dari ladang. Bis kecil itu kembali melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhirnya di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, sebuah daerah perbatasan yang tidak kalah menariknya dengan kompleks wisata Dataran Tinggi Dieng di Kabupaten Wonosobo ini. Saya membayar Rp10.000 untuk perjalanan ini.
Ada beberapa pilihan penginapan di kawasan ini. Mulai dari harga Rp60.000 hingga beberapa ratus ribu. Tentunya dengan fasilitasnya masing-masing. Pilihan saya jatuh pada yang paling murah. Kamar saya berukuran kira-kira 3×3 meter, berisi satu buah tempat tidur yang cukup untuk dua orang dan satu buah meja kecil. Kamar mandi berbagi dengan penghuni lain. Tentunya tanpa air panas.
Saya segera melangkahkan kaki menuju ke Telaga Warna yang pesonanya sudah terkenal hingga ke mancanegara ini. Cuaca cukup bersahabat sore ini. Setelah berjalan kira-kira 1,4 km, saya tiba di Telaga Warna. Warna hijau tosca yang terlihat di permukaan telaga ini sungguh sangat menawan hati. Kabut tipis yang kadang terlihat mengambang di permukaan air memberikan kesan mistis. Udara sejuk mendekati dingin semakin menambah istimewa tempat ini. Jalan setapak yang mengelilingi telaga, pepohonan yang rindang memberi kenyamanan bagi pelancong yang hendak menikmati kesejukan dan keindahannya.
Telaga Warna sejatinya adalah danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang. Kandungan mineral sulfurnya yang cukup tinggi menyebabkan pewarnaan telaga ini bermacam-macam. Uniknya, hanya dibatasi oleh “pulau” kecil rerumputan, ada sebuah telaga lagi yaitu Telaga Pengilon. Berbeda dengan “tetangganya yang berwarna”, telaga ini bening seperti warna telaga pada umumnya.
Berjalan-jalan mengelilingi Telaga Warna ini sungguh sangat menyenangkan hati, terutama bila menyempatkan diri untuk sedikit berjalan menanjak ke puncak bukit. Titik paling bagus untuk menyaksikan keseluruhan bentuk telaga. Ada dua lokasi yaitu dari sisi dalam bagian selatan telaga mengikuti jalan berundak menanjak dan sisi luar bagian utara. Khusus untuk bagian luar ini, di puncak bukitnya ada area cukup luas untuk sekedar duduk bersantai bersama kawan seperjalanan. Sayangnya tidak diperbolehkan untuk berkemah di area Telaga Warna. Mungkin untuk mengurangi risiko kebakaran seperti yang terjadi sekitar 10-11 tahun yang lalu.
Di area parkir pun tersedia beberapa kios-kios yang menjajakan aneka panganan tradisional dan minuman hangat. Tempe berbalut adonan tepung yang biasa disebut tempe kemul yang masih panas sungguh sangat nikmat bersama dengan segelas teh panas manis di daerah dingin seperti ini.
Malam ini saya tidur lebih awal. Pukul tiga pagi saya harus memulai pendakian menuju puncak Gunung Prahu, bersama dengan Rafiq, salah satu pemuda setempat. Saya tertarik untuk menyaksikan langsung matahari terbit dan gugusan gunung-gunung di Jawa Tengah dan gumpalan awan. Ya, Gunung Perahu ini memang masih belum menjadi tujuan popular bagi para pelancong yang datang ke kawasan Dataran Tinggi Dieng. Menurut Rafiq, lebih banyak para pendaki gunung yang datang ke sini. Jalan menanjak sekitar dua jam mungkin yang membuat orang segan menyambangi gunung yang memiliki tinggi 2.565 meter di atas permukaan laut ini.
Melewati jalur tanjakan pertama, kami beristirahat sejenak, dan berbagi air minum. Sembari mengatur nafas, saya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat agak terbuka ini. Senyum saya seketika mengembang melihat titik-titik cahaya dari kejauhan dan ketinggian yang membentuk sebuah koloni seperti kunang-kunang yang bergerombol. Kumpulan titik-titik cahaya yang berasal dari rumah-rumah desa itu terhubung dengan lampu jalanan yang berujung pada kumpulan titik-titik cahaya lagi. Gelapnya malam, terangnya cahaya bintang di langit dan terpaan angin dingin di wajahku seketika menyeruakkan perasaan bahagia. Bukankah bahagia itu sederhana?
Tiga menit berlalu. Angin dingin menggigit seperti mengingatkanku untuk kembali berjalan. Tanjakan lain menunggu di depan. Setelah berjalan sekitar satu jam, tibalah kami di puncak Gunung Prahu. Titik puncak pertama ini ditandai dengan beberapa tiang menara repeater milik beberapa institusi pemerintah seperti TNI dan Polri untuk keperluan komunikasi radio mereka. Lokasi Gunung Prahu yang terletak di dataran tinggi perbatasan beberapa kabupaten sangat membantu melancarkan signal komunikasi.
Sayup-sayup saya mendengar suara dari masjid. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 04.00. Sepertinya kami berjalan terlalu cepat, sehingga kami masih menunggu harus menunggu matahari terbit. Rafiq lalu mengajak untuk mulai berjalan menyisiri punggungan puncak gunung menuju lokasi paling baik menyaksikan matahari terbit. Tidak sampai 15 menit kami tiba di tempat yang seperti berbukit-bukit luas ala savanna di perjalanan dari Sembalun menuju Plawangan Sembalun di Gunung Rinjani.
Di kawasan puncak Gunung Prahu ini hampir tidak ada titik untuk berlindung dari terpaan angin kencang. Selama kurang lebih satu jam kami dihantam kencangnya angin di puncak Gunung Prahu. Semburat garis merah perlahan mulai terlihat. Siluet gunung dari kejauhan mulai tampak. Kabut yang menyelimutinya pun mulai terlihat. Warna hangatnya mentari mulai memenuhi permukaan rerumputan dan bunga yang bertebaran di permukaan tanah. Samar-samar bangunan rumah di desa perlahan terlihat. Begitu pula dengan Telaga Warna.
Sekitar pukul 05.30, matahari mulai terlihat. Mula-mula hanya terlihat setengah hingga akhirnya bulat utuh seperti kuning telur mata sapi raksasa yang memenuhi siklus harian alam semesta. Semuanya terjadi dalam hitungan menit. Bisa kurasakan senyumku mengembang dari balik kamera yang sedari tadi sudah kupersiapkan di atas kaki tiga. Jemari saya yang beku sejak tiba di sini sudah tidak kuhiraukan lagi. Ujung jari telunjukku sibuk menekan tombol rana, sembari melawan kencangnya angin yang menggoyangkan kameraku. Rafiq pun sibuk mengambil gambar dengan kamera dari telepon selulernya. Untuk ditunjukkan kepada tamu-tamunya, begitu katanya ketika aku mengambil gambarnya.
Saya menyambut pagi dengan perasaan senang. Ketika pagi sudah terang, terlihat jelas gunung-gunung di Jawa Tengah dan Telaga Warna yang warna hijaunya tampak kecil seperti kolam ikan yang jarang dibersihkan. Bukit-bukit yang berjejer bergelombang mengingatkan saya akan serial animasi anak-anak Teletubbies. Saya berusaha untuk menjaga langkah kaki agar tidak menginjak bunga daisy yang banyak ditemukan di area puncak gunung ini.


Pukul 06.30 kami bersiap untuk turun. Berjalan dengan riang seperti anak kecil yang hendak main ke sungai beramai-ramai. Tampak dari kejauhan jalur pendakian berkelok-kelok. Sesekali Rafiq dan saya berlari menuruni jalur menurun ini. Pemandangan menakjubkan dengan udara segar pegunungan sangat sayang untuk ditinggalkan. Sungguh, saya tidak ingin turun dan meninggalkan pagi dari Gunung 


INI DIA SEJARAH JALAN DAAN MOGOT DIBALIK SEJUTA AKTIFITASNYA


Anda pasti pernah nama  “Daan Mogot”, nama sebuah jalan yang lekat dengan keriuhan dan kemacetan serta segudang aktifitas setiap harinya. Jalan ini adalah tulang punggung yang menghubungkan antara Ibukota Jakarta (perempatan Grogol, Jakarta Barat) dengan Kota Tangerang yang masuk wilayah Provinsi Banten. Tapi, tahukah kita, bahwa Daan Mogot adalah seorang perwira “ganteng” militer berpangkat mayor, dan merupakan salah seorang pahlawan nasional yang gugur pada tanggal 25 Januari, 68 tahun silam (tepatnya, 1946), sewaktu terjadi pertempuran di area markas pasukan tentara Jepang di kawasan Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
* * *
Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 28 Desember 1928. Nama lengkapnya, Elias Daniel Mogot. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara, buah cinta dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Saudara sepupu Daan Mogot, antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta), dan Irjen Pol A. Gordon Mogot, mantan Kapolda Sulut.

Daan Mogot memiliki serangkaian pengalaman kemiliteran, mulai dari menjadi Anggota Seinen Dojo angkatan pertama (1942-1943); Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1 (1943); Shodancho PETA di Bali (1943-1944); Staf Markas PETA i di Jakarta (1944-1945); Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor) pada 1945; dan merupakan salah seorang pendiri, sekaligus menjadi Direktur pertamaAkademi Militer Tangerang (MAT) – atau Akademi Militer Tangerang — dalam kurun waktu yang singkat (1945-1946). Demikian seperti ditulis Wikipedia.

Pada tahun 1945 ketika diproklamasikan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR), dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Tentu saja ini menjadi sesuatu yang luar biasa, karena pada waktu itu, Mayor Daan Mogot baru menginjak usia 16 tahun.
Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan karet di kawasan Lengkong Wetan, Serpong, Kota Tangerang Selatan, ketika para Taruna MAT yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang, pada 25 Januari 1946.

Dalam waktu singkat, pecah pertempuran yang tidak seimbang, antara pihak Indonesia dengan Jepang. Pengalaman tempur serdadu Jepang yang cukup lama, didukung persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk bidikan senjata. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat, serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.

Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara hutan pohon karet. Jelas, bahwa mereka mengalami kesulitan sewaktu menggunakan senjata karaben Terniyang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke ‘kamar-kamarnya’ tidak pas karena ukuran berbeda, atau memang macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan Indonesia bertempur di lingkungan kamp serdadu Jepang, dengan persenjataan dan amunisi peluru yang terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.

Apa boleh dikata, Tuhan Yang Maha Kuasa menakdirkan, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira gugur di medan laga, dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri, dan pada tanggal 26 Januari atau keesokan paginya, tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang.
Pasukan Jepang bertindak penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas hendak bagaimana dan bakal diapakan.

Empat hari setelah Peristiwa Lengkong, atau tepatnya 29 Januari 1946, dilaksanakan pemakaman kembali ke-36 jenasah yang gugur dalam Peristiwa Lengkong, ditambah kemudian seorang taruna lagi bernama Soekardi, yang luka berat dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di RS Tangerang. Lokasi pemakaman ulang ini, kini menjadi Taman Makam Pahlawan Taruna yang terletak di Jalan Raya Daan Mogot No,1, tak jauh dari area Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Remaja dan Anak, juga dekat dengan Masjid Raya Al A’zhom di Kota Tangerang.