Raung mesin mobil terdengar jelas dan
memekakkan telinga ketika supir memainkan gas dengan kaki kanannya. Asap hitam
pekat pun menandai "kualitas" kendaraan yang saya tumpangi. Tanjakan
cukup curam menanti di hadapan. Sebuah tanda peringatan dengan gambar jalan
menanjak kembali mengingatkan pengguna jalan untuk selalu berhati-hati. Saya
kemudian memperhatikan jalan sembari sesekali melirik supir di sebelah kanan
yang terlihat tenang mengemudi sembari menimpali obrolan sang kernet.
Untuk dapat mencapai Dataran Tinggi Dieng,
pelancong dapat menggunakan beberapa rute, misalnya dari Kabupaten Banjarnegara
atau Wonosobo. Namun yang menjadi favorit wisatawan adalah rute dari Kabupaten
Wonosobo. Entah karena sarana transportasi yang lebih baik atau memang
merupakan jalur wisata sejak lama. Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam,
kita akan dihadapkan perjalanan menanjak berliku yang hanya cukup untuk dilalui
dua kendaraan. Bahkan di beberapa titik, salah satu kendaraan harus berhenti
terlebih dahulu agar kendaraan dari arah berlawanan dapat lewat duluan.
Terlepas dari itu, kita disuguhi pemandangan
alam yang indah. Lereng pegunungan yang berderet rapi tampak seperti undakan
hijau yang tertata rapih itu adalah tebing-tebing tanah yang disulap menjadi
lahan pertanian.
Angin menyeruak masuk ke dalam bis dari
sela-sela kaca jendela. Sejuk. Ketinggian sudah mencapai lebih dari 1700 mdpl.
Sore itu langit tampak cerah. Warna biru memenuhi langit. Kurasakan senyumku
mengembang sendiri.
Tidak berapa lama bis kecil ini tiba di
pertigaan Dataran Tinggi Dieng. Walau gapura sudah terlihat beberapa waktu
lalu, namun tempat yang dituju masih harus menempuh waktu perjalanan sekitar 10
menit lagi. Dan sekarang, aku berdiri sendiri di tepi jalan yang cukup ramai
oleh lalu lalang petani yang pulang dari ladang. Bis kecil itu kembali
melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhirnya di Kecamatan Batur, Kabupaten
Banjarnegara, sebuah daerah perbatasan yang tidak kalah menariknya dengan
kompleks wisata Dataran Tinggi Dieng di Kabupaten Wonosobo ini. Saya membayar
Rp10.000 untuk perjalanan ini.
Ada beberapa pilihan penginapan di kawasan
ini. Mulai dari harga Rp60.000 hingga beberapa ratus ribu. Tentunya dengan
fasilitasnya masing-masing. Pilihan saya jatuh pada yang paling murah. Kamar
saya berukuran kira-kira 3×3 meter, berisi satu buah tempat tidur yang cukup
untuk dua orang dan satu buah meja kecil. Kamar mandi berbagi dengan penghuni
lain. Tentunya tanpa air panas.
Saya segera melangkahkan kaki menuju ke
Telaga Warna yang pesonanya sudah terkenal hingga ke mancanegara ini. Cuaca
cukup bersahabat sore ini. Setelah berjalan kira-kira 1,4 km, saya tiba di
Telaga Warna. Warna hijau tosca yang terlihat di permukaan telaga ini sungguh
sangat menawan hati. Kabut tipis yang kadang terlihat mengambang di permukaan
air memberikan kesan mistis. Udara sejuk mendekati dingin semakin menambah
istimewa tempat ini. Jalan setapak yang mengelilingi telaga, pepohonan yang
rindang memberi kenyamanan bagi pelancong yang hendak menikmati kesejukan dan keindahannya.
Telaga Warna sejatinya adalah danau vulkanik
yang berisi air bercampur belerang. Kandungan mineral sulfurnya yang cukup
tinggi menyebabkan pewarnaan telaga ini bermacam-macam. Uniknya, hanya dibatasi
oleh “pulau” kecil rerumputan, ada sebuah telaga lagi yaitu Telaga Pengilon.
Berbeda dengan “tetangganya yang berwarna”, telaga ini bening seperti warna
telaga pada umumnya.
Berjalan-jalan mengelilingi Telaga Warna ini
sungguh sangat menyenangkan hati, terutama bila menyempatkan diri untuk sedikit
berjalan menanjak ke puncak bukit. Titik paling bagus untuk menyaksikan
keseluruhan bentuk telaga. Ada dua lokasi yaitu dari sisi dalam bagian selatan
telaga mengikuti jalan berundak menanjak dan sisi luar bagian utara. Khusus
untuk bagian luar ini, di puncak bukitnya ada area cukup luas untuk sekedar
duduk bersantai bersama kawan seperjalanan. Sayangnya tidak diperbolehkan untuk
berkemah di area Telaga Warna. Mungkin untuk mengurangi risiko kebakaran
seperti yang terjadi sekitar 10-11 tahun yang lalu.
Di area parkir pun tersedia beberapa
kios-kios yang menjajakan aneka panganan tradisional dan minuman hangat. Tempe
berbalut adonan tepung yang biasa disebut tempe kemul yang masih panas sungguh
sangat nikmat bersama dengan segelas teh panas manis di daerah dingin seperti
ini.
Malam ini saya tidur lebih awal. Pukul tiga
pagi saya harus memulai pendakian menuju puncak Gunung Prahu, bersama dengan
Rafiq, salah satu pemuda setempat. Saya tertarik untuk menyaksikan langsung
matahari terbit dan gugusan gunung-gunung di Jawa Tengah dan gumpalan awan. Ya,
Gunung Perahu ini memang masih belum menjadi tujuan popular bagi para pelancong
yang datang ke kawasan Dataran Tinggi Dieng. Menurut Rafiq, lebih banyak para
pendaki gunung yang datang ke sini. Jalan menanjak sekitar dua jam mungkin yang
membuat orang segan menyambangi gunung yang memiliki tinggi 2.565 meter di atas
permukaan laut ini.
Melewati jalur tanjakan pertama, kami
beristirahat sejenak, dan berbagi air minum. Sembari mengatur nafas, saya lalu
mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat agak terbuka ini. Senyum saya
seketika mengembang melihat titik-titik cahaya dari kejauhan dan ketinggian yang
membentuk sebuah koloni seperti kunang-kunang yang bergerombol. Kumpulan
titik-titik cahaya yang berasal dari rumah-rumah desa itu terhubung dengan
lampu jalanan yang berujung pada kumpulan titik-titik cahaya lagi. Gelapnya
malam, terangnya cahaya bintang di langit dan terpaan angin dingin di wajahku
seketika menyeruakkan perasaan bahagia. Bukankah bahagia itu sederhana?
Tiga menit berlalu. Angin dingin menggigit
seperti mengingatkanku untuk kembali berjalan. Tanjakan lain menunggu di depan.
Setelah berjalan sekitar satu jam, tibalah kami di puncak Gunung Prahu. Titik
puncak pertama ini ditandai dengan beberapa tiang menara repeater milik
beberapa institusi pemerintah seperti TNI dan Polri untuk keperluan komunikasi
radio mereka. Lokasi Gunung Prahu yang terletak di dataran tinggi perbatasan
beberapa kabupaten sangat membantu melancarkan signal komunikasi.
Sayup-sayup saya mendengar suara dari masjid.
Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 04.00. Sepertinya kami berjalan
terlalu cepat, sehingga kami masih menunggu harus menunggu matahari terbit.
Rafiq lalu mengajak untuk mulai berjalan menyisiri punggungan puncak gunung
menuju lokasi paling baik menyaksikan matahari terbit. Tidak sampai 15 menit
kami tiba di tempat yang seperti berbukit-bukit luas ala savanna di perjalanan
dari Sembalun menuju Plawangan Sembalun di Gunung Rinjani.
Di kawasan puncak Gunung Prahu ini hampir
tidak ada titik untuk berlindung dari terpaan angin kencang. Selama kurang
lebih satu jam kami dihantam kencangnya angin di puncak Gunung Prahu. Semburat
garis merah perlahan mulai terlihat. Siluet gunung dari kejauhan mulai tampak.
Kabut yang menyelimutinya pun mulai terlihat. Warna hangatnya mentari mulai
memenuhi permukaan rerumputan dan bunga yang bertebaran di permukaan tanah. Samar-samar
bangunan rumah di desa perlahan terlihat. Begitu pula dengan Telaga Warna.
Sekitar pukul 05.30, matahari mulai terlihat.
Mula-mula hanya terlihat setengah hingga akhirnya bulat utuh seperti kuning
telur mata sapi raksasa yang memenuhi siklus harian alam semesta. Semuanya
terjadi dalam hitungan menit. Bisa kurasakan senyumku mengembang dari balik
kamera yang sedari tadi sudah kupersiapkan di atas kaki tiga. Jemari saya yang
beku sejak tiba di sini sudah tidak kuhiraukan lagi. Ujung jari telunjukku
sibuk menekan tombol rana, sembari melawan kencangnya angin yang menggoyangkan
kameraku. Rafiq pun sibuk mengambil gambar dengan kamera dari telepon
selulernya. Untuk ditunjukkan kepada tamu-tamunya, begitu katanya ketika aku
mengambil gambarnya.
Saya menyambut pagi dengan perasaan senang.
Ketika pagi sudah terang, terlihat jelas gunung-gunung di Jawa Tengah dan
Telaga Warna yang warna hijaunya tampak kecil seperti kolam ikan yang jarang
dibersihkan. Bukit-bukit yang berjejer bergelombang mengingatkan saya akan
serial animasi anak-anak Teletubbies.
Saya berusaha untuk menjaga langkah kaki agar tidak menginjak bunga daisy yang banyak
ditemukan di area puncak gunung ini.
Pukul 06.30 kami bersiap untuk turun.
Berjalan dengan riang seperti anak kecil yang hendak main ke sungai
beramai-ramai. Tampak dari kejauhan jalur pendakian berkelok-kelok. Sesekali
Rafiq dan saya berlari menuruni jalur menurun ini. Pemandangan menakjubkan
dengan udara segar pegunungan sangat sayang untuk ditinggalkan. Sungguh, saya
tidak ingin turun dan meninggalkan pagi dari Gunung