.

Minggu, 20 April 2014

DERETAN "PESONA" DIENG, MANJAKAN MATA



Raung mesin mobil terdengar jelas dan memekakkan telinga ketika supir memainkan gas dengan kaki kanannya. Asap hitam pekat pun menandai "kualitas" kendaraan yang saya tumpangi. Tanjakan cukup curam menanti di hadapan. Sebuah tanda peringatan dengan gambar jalan menanjak kembali mengingatkan pengguna jalan untuk selalu berhati-hati. Saya kemudian memperhatikan jalan sembari sesekali melirik supir di sebelah kanan yang terlihat tenang mengemudi sembari menimpali obrolan sang kernet.
Untuk dapat mencapai Dataran Tinggi Dieng, pelancong dapat menggunakan beberapa rute, misalnya dari Kabupaten Banjarnegara atau Wonosobo. Namun yang menjadi favorit wisatawan adalah rute dari Kabupaten Wonosobo. Entah karena sarana transportasi yang lebih baik atau memang merupakan jalur wisata sejak lama. Menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, kita akan dihadapkan perjalanan menanjak berliku yang hanya cukup untuk dilalui dua kendaraan. Bahkan di beberapa titik, salah satu kendaraan harus berhenti terlebih dahulu agar kendaraan dari arah berlawanan dapat lewat duluan.
Terlepas dari itu, kita disuguhi pemandangan alam yang indah. Lereng pegunungan yang berderet rapi tampak seperti undakan hijau yang tertata rapih itu adalah tebing-tebing tanah yang disulap menjadi lahan pertanian. 
Angin menyeruak masuk ke dalam bis dari sela-sela kaca jendela. Sejuk. Ketinggian sudah mencapai lebih dari 1700 mdpl. Sore itu langit tampak cerah. Warna biru memenuhi langit. Kurasakan senyumku mengembang sendiri.
Tidak berapa lama bis kecil ini tiba di pertigaan Dataran Tinggi Dieng. Walau gapura sudah terlihat beberapa waktu lalu, namun tempat yang dituju masih harus menempuh waktu perjalanan sekitar 10 menit lagi. Dan sekarang, aku berdiri sendiri di tepi jalan yang cukup ramai oleh lalu lalang petani yang pulang dari ladang. Bis kecil itu kembali melanjutkan perjalanan menuju tujuan akhirnya di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, sebuah daerah perbatasan yang tidak kalah menariknya dengan kompleks wisata Dataran Tinggi Dieng di Kabupaten Wonosobo ini. Saya membayar Rp10.000 untuk perjalanan ini.
Ada beberapa pilihan penginapan di kawasan ini. Mulai dari harga Rp60.000 hingga beberapa ratus ribu. Tentunya dengan fasilitasnya masing-masing. Pilihan saya jatuh pada yang paling murah. Kamar saya berukuran kira-kira 3×3 meter, berisi satu buah tempat tidur yang cukup untuk dua orang dan satu buah meja kecil. Kamar mandi berbagi dengan penghuni lain. Tentunya tanpa air panas.
Saya segera melangkahkan kaki menuju ke Telaga Warna yang pesonanya sudah terkenal hingga ke mancanegara ini. Cuaca cukup bersahabat sore ini. Setelah berjalan kira-kira 1,4 km, saya tiba di Telaga Warna. Warna hijau tosca yang terlihat di permukaan telaga ini sungguh sangat menawan hati. Kabut tipis yang kadang terlihat mengambang di permukaan air memberikan kesan mistis. Udara sejuk mendekati dingin semakin menambah istimewa tempat ini. Jalan setapak yang mengelilingi telaga, pepohonan yang rindang memberi kenyamanan bagi pelancong yang hendak menikmati kesejukan dan keindahannya.
Telaga Warna sejatinya adalah danau vulkanik yang berisi air bercampur belerang. Kandungan mineral sulfurnya yang cukup tinggi menyebabkan pewarnaan telaga ini bermacam-macam. Uniknya, hanya dibatasi oleh “pulau” kecil rerumputan, ada sebuah telaga lagi yaitu Telaga Pengilon. Berbeda dengan “tetangganya yang berwarna”, telaga ini bening seperti warna telaga pada umumnya.
Berjalan-jalan mengelilingi Telaga Warna ini sungguh sangat menyenangkan hati, terutama bila menyempatkan diri untuk sedikit berjalan menanjak ke puncak bukit. Titik paling bagus untuk menyaksikan keseluruhan bentuk telaga. Ada dua lokasi yaitu dari sisi dalam bagian selatan telaga mengikuti jalan berundak menanjak dan sisi luar bagian utara. Khusus untuk bagian luar ini, di puncak bukitnya ada area cukup luas untuk sekedar duduk bersantai bersama kawan seperjalanan. Sayangnya tidak diperbolehkan untuk berkemah di area Telaga Warna. Mungkin untuk mengurangi risiko kebakaran seperti yang terjadi sekitar 10-11 tahun yang lalu.
Di area parkir pun tersedia beberapa kios-kios yang menjajakan aneka panganan tradisional dan minuman hangat. Tempe berbalut adonan tepung yang biasa disebut tempe kemul yang masih panas sungguh sangat nikmat bersama dengan segelas teh panas manis di daerah dingin seperti ini.
Malam ini saya tidur lebih awal. Pukul tiga pagi saya harus memulai pendakian menuju puncak Gunung Prahu, bersama dengan Rafiq, salah satu pemuda setempat. Saya tertarik untuk menyaksikan langsung matahari terbit dan gugusan gunung-gunung di Jawa Tengah dan gumpalan awan. Ya, Gunung Perahu ini memang masih belum menjadi tujuan popular bagi para pelancong yang datang ke kawasan Dataran Tinggi Dieng. Menurut Rafiq, lebih banyak para pendaki gunung yang datang ke sini. Jalan menanjak sekitar dua jam mungkin yang membuat orang segan menyambangi gunung yang memiliki tinggi 2.565 meter di atas permukaan laut ini.
Melewati jalur tanjakan pertama, kami beristirahat sejenak, dan berbagi air minum. Sembari mengatur nafas, saya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat agak terbuka ini. Senyum saya seketika mengembang melihat titik-titik cahaya dari kejauhan dan ketinggian yang membentuk sebuah koloni seperti kunang-kunang yang bergerombol. Kumpulan titik-titik cahaya yang berasal dari rumah-rumah desa itu terhubung dengan lampu jalanan yang berujung pada kumpulan titik-titik cahaya lagi. Gelapnya malam, terangnya cahaya bintang di langit dan terpaan angin dingin di wajahku seketika menyeruakkan perasaan bahagia. Bukankah bahagia itu sederhana?
Tiga menit berlalu. Angin dingin menggigit seperti mengingatkanku untuk kembali berjalan. Tanjakan lain menunggu di depan. Setelah berjalan sekitar satu jam, tibalah kami di puncak Gunung Prahu. Titik puncak pertama ini ditandai dengan beberapa tiang menara repeater milik beberapa institusi pemerintah seperti TNI dan Polri untuk keperluan komunikasi radio mereka. Lokasi Gunung Prahu yang terletak di dataran tinggi perbatasan beberapa kabupaten sangat membantu melancarkan signal komunikasi.
Sayup-sayup saya mendengar suara dari masjid. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 04.00. Sepertinya kami berjalan terlalu cepat, sehingga kami masih menunggu harus menunggu matahari terbit. Rafiq lalu mengajak untuk mulai berjalan menyisiri punggungan puncak gunung menuju lokasi paling baik menyaksikan matahari terbit. Tidak sampai 15 menit kami tiba di tempat yang seperti berbukit-bukit luas ala savanna di perjalanan dari Sembalun menuju Plawangan Sembalun di Gunung Rinjani.
Di kawasan puncak Gunung Prahu ini hampir tidak ada titik untuk berlindung dari terpaan angin kencang. Selama kurang lebih satu jam kami dihantam kencangnya angin di puncak Gunung Prahu. Semburat garis merah perlahan mulai terlihat. Siluet gunung dari kejauhan mulai tampak. Kabut yang menyelimutinya pun mulai terlihat. Warna hangatnya mentari mulai memenuhi permukaan rerumputan dan bunga yang bertebaran di permukaan tanah. Samar-samar bangunan rumah di desa perlahan terlihat. Begitu pula dengan Telaga Warna.
Sekitar pukul 05.30, matahari mulai terlihat. Mula-mula hanya terlihat setengah hingga akhirnya bulat utuh seperti kuning telur mata sapi raksasa yang memenuhi siklus harian alam semesta. Semuanya terjadi dalam hitungan menit. Bisa kurasakan senyumku mengembang dari balik kamera yang sedari tadi sudah kupersiapkan di atas kaki tiga. Jemari saya yang beku sejak tiba di sini sudah tidak kuhiraukan lagi. Ujung jari telunjukku sibuk menekan tombol rana, sembari melawan kencangnya angin yang menggoyangkan kameraku. Rafiq pun sibuk mengambil gambar dengan kamera dari telepon selulernya. Untuk ditunjukkan kepada tamu-tamunya, begitu katanya ketika aku mengambil gambarnya.
Saya menyambut pagi dengan perasaan senang. Ketika pagi sudah terang, terlihat jelas gunung-gunung di Jawa Tengah dan Telaga Warna yang warna hijaunya tampak kecil seperti kolam ikan yang jarang dibersihkan. Bukit-bukit yang berjejer bergelombang mengingatkan saya akan serial animasi anak-anak Teletubbies. Saya berusaha untuk menjaga langkah kaki agar tidak menginjak bunga daisy yang banyak ditemukan di area puncak gunung ini.


Pukul 06.30 kami bersiap untuk turun. Berjalan dengan riang seperti anak kecil yang hendak main ke sungai beramai-ramai. Tampak dari kejauhan jalur pendakian berkelok-kelok. Sesekali Rafiq dan saya berlari menuruni jalur menurun ini. Pemandangan menakjubkan dengan udara segar pegunungan sangat sayang untuk ditinggalkan. Sungguh, saya tidak ingin turun dan meninggalkan pagi dari Gunung 


INI DIA SEJARAH JALAN DAAN MOGOT DIBALIK SEJUTA AKTIFITASNYA


Anda pasti pernah nama  “Daan Mogot”, nama sebuah jalan yang lekat dengan keriuhan dan kemacetan serta segudang aktifitas setiap harinya. Jalan ini adalah tulang punggung yang menghubungkan antara Ibukota Jakarta (perempatan Grogol, Jakarta Barat) dengan Kota Tangerang yang masuk wilayah Provinsi Banten. Tapi, tahukah kita, bahwa Daan Mogot adalah seorang perwira “ganteng” militer berpangkat mayor, dan merupakan salah seorang pahlawan nasional yang gugur pada tanggal 25 Januari, 68 tahun silam (tepatnya, 1946), sewaktu terjadi pertempuran di area markas pasukan tentara Jepang di kawasan Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
* * *
Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 28 Desember 1928. Nama lengkapnya, Elias Daniel Mogot. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara, buah cinta dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Saudara sepupu Daan Mogot, antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta), dan Irjen Pol A. Gordon Mogot, mantan Kapolda Sulut.

Daan Mogot memiliki serangkaian pengalaman kemiliteran, mulai dari menjadi Anggota Seinen Dojo angkatan pertama (1942-1943); Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1 (1943); Shodancho PETA di Bali (1943-1944); Staf Markas PETA i di Jakarta (1944-1945); Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor) pada 1945; dan merupakan salah seorang pendiri, sekaligus menjadi Direktur pertamaAkademi Militer Tangerang (MAT) – atau Akademi Militer Tangerang — dalam kurun waktu yang singkat (1945-1946). Demikian seperti ditulis Wikipedia.

Pada tahun 1945 ketika diproklamasikan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, Daan Mogot menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR), dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat Mayor. Tentu saja ini menjadi sesuatu yang luar biasa, karena pada waktu itu, Mayor Daan Mogot baru menginjak usia 16 tahun.
Daan Mogot memang terkenal dalam sejarah zaman revolusi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada pertempuran di hutan karet di kawasan Lengkong Wetan, Serpong, Kota Tangerang Selatan, ketika para Taruna MAT yang dipimpinnya berusaha merebut senjata dari pihak tentara Jepang, pada 25 Januari 1946.

Dalam waktu singkat, pecah pertempuran yang tidak seimbang, antara pihak Indonesia dengan Jepang. Pengalaman tempur serdadu Jepang yang cukup lama, didukung persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk bidikan senjata. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat, serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.

Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara hutan pohon karet. Jelas, bahwa mereka mengalami kesulitan sewaktu menggunakan senjata karaben Terniyang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke ‘kamar-kamarnya’ tidak pas karena ukuran berbeda, atau memang macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan Indonesia bertempur di lingkungan kamp serdadu Jepang, dengan persenjataan dan amunisi peluru yang terbatas.
Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.

Apa boleh dikata, Tuhan Yang Maha Kuasa menakdirkan, sebanyak 33 taruna dan 3 perwira gugur di medan laga, dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri, dan pada tanggal 26 Januari atau keesokan paginya, tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang.
Pasukan Jepang bertindak penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas hendak bagaimana dan bakal diapakan.

Empat hari setelah Peristiwa Lengkong, atau tepatnya 29 Januari 1946, dilaksanakan pemakaman kembali ke-36 jenasah yang gugur dalam Peristiwa Lengkong, ditambah kemudian seorang taruna lagi bernama Soekardi, yang luka berat dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di RS Tangerang. Lokasi pemakaman ulang ini, kini menjadi Taman Makam Pahlawan Taruna yang terletak di Jalan Raya Daan Mogot No,1, tak jauh dari area Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Remaja dan Anak, juga dekat dengan Masjid Raya Al A’zhom di Kota Tangerang.

Minggu, 09 Februari 2014

CERITA DUKA DARI TANAH KARO


 Sadarta, duduk sendiri di posko pengungsi erupsi Gunung Sinabung, di Masjid Agung Kaban Jahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Senin (20/1/2014) sore. Ia asyik melamun, sambil mengurut kedua kaki di sudut posko pengungsian. 

Hiruk pikuk sekeliling tak ia gubris. Kerumunan pengungsi yang merubung Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pun tak mengusiknya. Begitu pula bantuan lima truk yang dibawa Gita tak membuat dia beranjak.

Saat diajak berbincang, bapak dengan dua anak ini juga tidak terlalu bersemangat. Raut wajahnya muram. Ada risau tergambar jelas. Dari obrolan sesudahnya, dia mengaku digelayuti pikiran soal ladang dan rumah yang dihantam debu vulkanik Gunung Sinabung sejak tiga bulan lalu.

Sadarta telah mengungsi selama 2,5 bulan. Seorang istri dan dua orang anak dia bawa serta. Tempat tinggal mereka di Desa Berastepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, hanya berjarak 3,5 kilometer dari kawah Gunung Sinabung yang sedang bergejolak.

Sejak gunung itu mulai "batuk", lokasi rumahnya masuk kawasan berbahaya. Bahkan sejak status aktivitas gunung itu masih Siaga. "Setengah rumah kami sudah tertimbun debu. Kami takut (rumah) ambruk," kata Sadarta.

Hidup yang berputar 180 derajat...

Hidup keluarga ini pun langsung berubah 180 derajat. Di pengungsian, kenyamanan adalah barang langka. Kasur yang biasa menjadi alas tidur di rumah berganti menjadi selembar matras. Semua semakin serba prihatin. 

Selama di pengungsian, Sadarta mengaku mendapat cukup bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta. Makanan tersedia, meski seadanya. Demikian pula obat-obatan.

Hanya ada satu masalah, sebut dia, yakni air bersih. Untuk mendapatkan air bersih, dia harus membeli di rumah warga yang berdekatan dengan pengungsian. Satu ember air ukuran sedang harus dia tebus dengan Rp 5.000. Padahal, dia tak lagi mempunyai penghasilan karena ladang yang terselimuti debu Sinabung.

Rencana panen cabai, jagung, dan kopi pupus. Pria berperawakan jangkung ini sudah kehilangan nafkah. Dengan suara parau, dia mengaku tak terlalu pusing dengan kondisi pengungsian. Kelanjutan hidup keluarganya setelah erupsi Gunung Sinabung adalah hal yang membebani pikiran Sadarta hari-hari ini.

Sadarta, yang beristrikan Neni Marlina (36), mempunyai dua anak yang masih kecil. Si sulung baru kelas IV SD dan si bungsu berumur 4,8 tahun. Di tengah obrolan, Neni bergabung menggandeng si bungsu, sementara anak sulung mereka bermain bersama teman sebaya.

Seperti Sadarta, Neni juga mengatakan tak terlalu mempermasalahkan harus hidup seadanya di pengungsian. Selain air bersih, menurut dia, banyak hal masih mencukupi kebutuhan di pengungsian. 

Bagi Neni, bukan masalah besar pula bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum sekali pun mendatangi pengungsian korban letusan Gunung Sinabung. Di pikirannya, SBY sebagai kepala negara pasti mempunyai banyak prioritas lain. "Jadi, maklum saja."

Mimpi buruk pengungsi adalah...

Sadarta dan Neni adalah pengungsi yang mengaku mengikuti perkembangan pemberitaan media massa tentang Gunung Sinabung. Apalagi ada surat kabar yang beredar di pengungsian. Karenanya, mereka juga tahu Presiden berjanji akan datang ke pengungsian pada pekan ini.

Neni mengaku ada banyak hal yang ingin dia sampaikan kepada Presiden. Misalnya, Neni berharap Presiden SBY mau menjamin pemulihan kehidupan para pengungsi setelah letusan Gunung Sinabung berlalu.

Tempat tinggal warga yang hancur, harap Neni, bisa pula dibangun kembali. Barangkali saja, imbuh dia, ada bantuan juga dari pemerintah untuk membuka ladang baru setelah kebun-kebun mereka habis tertimbun debu vulkanik.

Sadarta dan Neni barulah dua di antara puluhan ribu warga yang harus mengungsi dalam tiga bulan terakhir karena letusan Gunung Sinabung. Para pengungsi ini sadar, harta yang hilang tak akan gampang diraih kembali. 

Setitik harap mereka ungkap, semoga pemerintah mau membantu mereka membuka lembaran baru untuk kehidupan mereka nanti. Bagi mereka, mimpi buruk terbesar bukanlah lontaran lava pijar Gunung Sinabung. Untuk mereka, mimpi buruk adalah ketika anak-anak telantar, apalagi kehilangan pendidikan, karena orangtuanya tak lagi mempunyai penghasilan.

"Kami ikhlas yang sudah berlalu. Tapi kalau Presiden ke sini, ada banyak hal yang ingin kami sampaikan. Buat kami, yang penting masa depan mereka (anak-anak)," ujar Neni lirih, dengan tangan lembut memegang pundak putra bungsunya.

TAMAN IMAN, REFLEKSI RELIGI KARYA ANAK NEGERI


Oleh : Yohanes Lesmana

Ada satu hal yang patut dibanggakan dari kabupaten Dairi (Sumatera Utara), sebuah refleksi besar yang menggambarkan kerukunan antar umat beragama. Taman Wisata Iman. Begitu taman ini dinamakan. Taman Wisata Iman (TWI) dibangun pada awal tahun 2000-an. Luas wilayah sekitar 10 hektare (ha). Lokasinya berada di atas bukit Sitinjo yang dikelilingi hutan pinus. Taman Wisata Iman berada di Kota Sidikalang (4 Jam perjalanan dari Medan) dengan latar belakang Kota Sumbul yang berpagar ribuan hektar areal persawahan

Gerbang berpilar empat akan menyambut begitu memasuki areal Taman ini. Jalanan menanjak yang menjadi hambatan dan sedikit menguji lutut saya terbayar lunas. Pemandangan yang aduhai menggambarkan kemegahan Tuhan yang maha megah. pandangan mata akan dimanjakan dengan susunan miniatur religius Buddha, Kristen, Katolik, Islam dan seakan menegaskan sebuah kalimat “Betapa indahnya keberagaman dan indahnya hidup berdampingan”
Setelah membayar Rp 5000, di pos retribusi saya melanjutkan perjalanan dengan “intro” Vihara Saddhavana kompleks Buddha menjadi suguhan pertama yang ditemui. Kuil ini, pernah diramaikan dengan perayaan Waisak yang dihadiri 1.500 umat Buddha, tidak saja umat Buddha dari Sumatera Utara, tetapi juga dari Pulau Penang, Malaysia. Stupa dan beberapa ornament vihara didatangkan dari India mau pun China. Sedangkan patung Maha Agung Sidharta Gautama terbuat dari batu gunung dikerjakan di Prumpun dekat Semarang, Jawa tengah
Sepoi angin menambah keasrian taman yang berdiri megah di tanah batak ini. Menelusuri ruas jalan aspal di tengah hutan pinus. Burung-burung berkicau di pepohonan yang berdiri tegak nan asri menambah semangat untuk terus melangkah menyusuri kawasan ini.

Selanjutnya patung Abraham yang menghunuskan pedang untuk menyembelih putranya menjadi pemadangan yang tersaji bagi pengunjung. Patung sumbangan camat se Kabupaten Dairi ini merupakan 1 dari sekian miniatur patung. Setidak-tidaknya terdapat 14 miniatur patung yang menggambarkan Yesus Kristus sejak kelahirannya hingga ia disalibkan, memiliki makna religius dan pesan-pesan agamis terhadap penganutnya.

Salib setinggi 15 meter di Bukit Golgota menjulang tinggi seakan mengingatkan kita akan patung salib Yesus yang menjadi ikon Rio de Janeiro milik Brazil. Tempat ini menjadi favorit pengunjung umat Kristiani. Ketiga salib tersebut terlihat jelas dari Kota Sumbul. Kemudian ada patung Bunda Maria berada di dalam gua. Vas bunga di kaki patung tidak pernah kosong, selalu diisi peziarah. Jalan menurun dengan miniatur jembatan membelah dua sungai, Lae Pendaroh bangunan gereja megah dan asrama penginapan, merupakan tujuan akhir pengunjung untuk memanjatkan doa.
Pura Hindu berdiri di sisi kiri jalan menanjak.Suasana Bali terasa disini. Jika kita berdiri diantar dua pilar ornament Bali, pemandangan Kota Sumbul bisa dinikmati dengan leluasa ditemani semilir angin. Gagahnya deret Bukit Barisan nun jauh turut menyumbang keindahan untuk sekedar dinikmati oleh bola mata.



Memasuki kompleks Islam disambut keberadaan menara Masjid Madinah, Ka’abah dan bangunan asrama penginapan. Areal lapangan yang tidak jauh dari bangunan ornamen tersebut, sering digunakan untuk acara keagamaan. Lapangan ini juga sering digunakan sebagai lapangan pendaratan pesawat helicopter, tidak saja para pejabat tetapi juga tamu-tamu dari luar negeri. Lapangan uni juga dapat digunakan acara manasik haji. Perwiritan dari perayaan keagamaan antaranya, Musabaqah Tilawatil Qur’an mau pun khatam Qur’an.
Jika hendak berkunjung ke Taman Wisata Iman, tidak perlu khawatir soal akomodasi. Ada beberapa Hotel yang terletak di kota Sidikalang maupun daerah sekitar lokasi wisata tersebut seperti Hotel Berristera, Hotel Dairi, Hotel Sidikalang, Hotel Angkasa Raya (YL/Dairi/SUMUT)






Senin, 25 November 2013

"Amsterdam" di Utara jakarta



Jakarta - Sudah 5 bulan berlalu sejak rencana normalisasi Waduk Pluit di Jakarta Utara dicanangkan oleh Gubernur DKI Joko Widodo dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama. Hujatan, kritik dan gugatan yang pernah dilayangkan warga yang menolak rencana ini, hilang sudah berganti angin taman yang menyejukkan. Warga kini menyebutnya angin 'Amsterdam'!

Milah (35), salah seorang warga di Penjaringan, yang mengaku kerap meluangkan waktunya di sore hari bersama tetangganya menikmati suasana Taman Waduk Pluit. Menurutnya taman ini sangat nyaman untuk merefleksikan pikiran dan serasa di luar negeri.

"Di Taman Waduk Pluit itu serasa di Amsterdam," kata Milah (35), di Taman Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (20/11/2013).

Waduk Pluit yang dulu kumuh dan dipenuhi ratusan pemukiman illegal, memang telah berubah menjadi taman yang asri. Waduk Pluit bahkan dinikmati tak hanya oleh kalangan menengah ke bawah, tapi kalangan atas pun kerap hadir menghabiskan waktu.

Namun tak hanya Milah yang menikmati suasana sore di Waduk Pluit. Ada Suhada (33) warga Tanah Pasir, Pluit yang mengaku sangat sering mengunjungi Taman Waduk Pluit. "Di taman itu ramai, suasananya nyaman. Lebih enak di sini daripada jauh-jauh ke Ancol dan Fatahillah. Lagian disini gratis," ujarnya.

Selain Milah dan Suhada, sore tadi di taman Waduk Pluit ada puluhan warga lain yang menikmati senja di tmana Waduk Pluit. Ibu-ibu yang mengasuk anak, remaja yang berkelakar, ataupun pelajar yang baru pulang sekolah.

Penjaga keamanan Taman Waduk Pluit, Maulana (28), menjelaskan Waduk Pluit akan lebih ramai saat hari libu yaitu Sabtu dan Minggu. Taman Waduk Pluit menjadi sangat padat oleh warga yang datang. Saking padatnya, parkiran tersedia tak cukup menampung motor dan mobil.

"Kalau untuk hari biasa selalu ramainya setiap habis ashar sampai malam, kalau malam soalnya warga sini pada pulang kerja malam jadi habis pulang pada banyak yang mampir ke waduk dulu," ucap Maulana.

Sementara salah seorang pedagang layang-layang yang berjualan di Taman Waduk Pluit, Prapto (53), mengatakan berjualan layang-layang di taman sangat menguntungkan. Saat hari biasa, meski hanya berjualan dua jam pukul 16.00-18.00 WIB, ia bisa mendapatkan Rp 50ribu.

Semenara keadaan ramai hari Sabtu dan Minggu, Prapto dapat meraup keuntungan hingga Rp 500 ribu per hari dengan harga satu layangan Rp 5 ribu. "Inisiatif awal jualan karena taman ini sarana yang cocok untuk bermain layang-layang. Selain tempatnya ramai, untuk angin di sini juga kencang," terangnya.

Ayah tiga anak ini menuturkan, meski telah ada larangan bagi pedagang untuk berjualan di jalur pejalan kaki di taman, tak membuatnya kapok. Para pedagang masih tetap berjualan di taman dengan cara asongan.

"Dengan Pak Jokowi kan tidak boleh dagang di trotoar. Jadi ya kita ngasong saja. capek sih, tapi ya mau bagaimana lagi," ujar Prapto.

Taman waduk Pluit itu memang tampak cantik. Selain menyediakan bangku taman, Pemprov DKI juga menyediakan beberapa pohon-pohon besar yang berjejer di pinggiran taman.






Minggu, 20 Oktober 2013

Kenapa Nasi Padang isinya lebih banyak kalau dibungkus ? ini dia sejarahnya


Buat anda penikmat kuliner, anda pasti pernah mencicipi Masakan Padang. rasanya yang khas, membuat cita rasa nikmat yang membuat anda bisa kecanduan.
namun apakah anda tau mengapa porsi nasi padang jauh lebih banyak jika dibungkus. berikut catatan perjalanan ke Tanah Minang. 

Sudah banyak pertanyaan dan jawaban tentang kenapa kalau kita beli nasi padang dengan dibungkus isinya jauh lebih banyak daripada kalau kita makan ditempat?

Jawaban paling populer adalah karena dengan dibungkus, si penjual tidak perlu repot mencuci piring dan mengurangi biaya sabun cuci.
Jawaban yang logis, tapi cenderung dipaksakan. Dibandingkan dengan biaya sabun, kalau dihitung-hitung, biaya nasi lebih jauh lebih besar. Ini tentu bertentangan dengan apa yang diketahui oleh masyrakat umum kalo orang padang itu perhitungan (baca: pelit) . Jawaban seperti diatas tidak lebih jawaban ngeles dari si penjual karena mereka ngga tau sejarah asal muasal dari pertanyaan di atas.  Oh iya, anda tidak salah baca. Ada sejarah dibalik kenapa kalau beli nasi padang isinya lebih banyak daripada makan ditempat, dan sejarah ini berawal sejak jaman penjajahan Belanda.

Baiklah, mari kita mulai saja pembahasannya:

Di Sumatera Barat dan sekitarnya (termasuk Pekanbaru), rumah makan disana tidaklah disebut dengan Rumah Makan Padang, melainkan RM Ampera. Jamak ditemui rumah makan disana diawali oleh kata Ampera kemudian barulah disusul dengan nama RM itu sendiri. Misal, RM Ampera Beringin, RM Ampera Siti Nurbaya, dll. Ampera sendiri adalah kepanjangan dari amanat penderitaan rakyat. Diakhir pembahasan ini akan ditemukan asal muasal kenapa mereka menggunakan nama Ampera

Di masa penjajahan dulu, RM Padang termasuk RM yg ekslusif, hanya kaum penjajah dan para saudagar kaya saja yang bisa menikmati lezatnya rendang, gulai tunjang, kepala ikan kakap, dendeng, dan kawan-kawan. Kenapa bisa demikian? Yah, dimasa penjajahan, daging dan beras termasuk komoditi mahal yg rakyat tidak selalu dapat membeli. Oleh karena itulah, harga makanan padang menjadi mahal dan seperti yg sudah dijelaskan. Hanya para penjajah dan saudagar kaya yg bisa menikmatinya. Tutur Roni, salah satu pengusaha RM Beringin di kawasan Tabing kota Padang

Dan disinilah sejarah itu dimulai, kenapa kalau beli nasi padang, isinya lebih bayak dibungkus daripada makan ditempat. Para pengusaha RM Padang (pastinya orang minang asli) sadar bahwa saudara-saudaranya juga layak untuk menikmati makanan enak, terlebih lagi makanan khas daerah mereka sendiri. Lebih jauh lagi, mereka para pengusaha ini juga sadar, banyak dari saudara mereka bekerja sebagai buruh kasar untuk para penjajah dan saudagar kaya yang makan di RM mereka, dan saudara mereka ini membutuhkan tenaga dan gizi yg cukup untuk tetap selalu sehat dan bekerja menafkahi keluarga mereka masing-masing.

Entah siapa yang memulai, di suatu waktu, para pengusaha RM ini memberlakukan peraturan baru. Jumlah nasi yang dibeli dengan dibungkus isinya akan jauh lebih banyak daripada makan ditempat. Biaya makan ditempat dibebankan kepada para penjajah dan para saudagar kaya dan biaya makan dibungkus untuk para buruh dan para pribumi lain. Inilah yang dijaman modern disebut subsidi silang. Kebijakan ini oleh para pengusaha disebut dengan Ampera alias Amanat Penderitaan Rakyat. Inilah asalnya kenapa RM Padang di Sumatera Barat sana disebut dengan RM Ampera.

Senin, 26 Agustus 2013

Napak Tilas Gunung Salak


Jarum jam tepat menunjukan pukul 10.00. ketika kebulatan tekad kami mencapai puncaknya. Ya, kami ingin mencari tantangan baru dan wisata yang berbeda. Gunung Salak yang menjadi alternatif perjalanan kami. Ketika Taman nasional Gunung Gede Pangrango tutup dengan alasan musim Kemarau.

Pukul 10.30 kami berkumpul di pom bensin Grogol, sambil menunggu rekan-rekan kami yang belum datang. Perjalanan kami kali ini diawaki oleh 7 orang. Saya Yohanes Lesmana, Desriko, Osmar, Gino. Herlinda, Fena dan Esther. Sebelum berangkat kami mengecek tekanan angin ban mobil yang akan kami tumpangi sambil bergantian ke mini market untuk melengkapi perbekalan.

Jam 11.00 kami siap berangkat. Diawali dengan doa, kami buka perjalanan kami menuju Sukabumi dengan semangat. 2 jam perjalanan yang kami tempuh hingga sampai ke Cidahu, Sukabumi. Pemandangan yang luar biasa, kicauan burung yang merdu serta udara sejuk yang menyeringai menyambut kedatangan kami.

Setibanya kami di pos pendakian, kami mengurus administrasi dan tak lupa mengambil peta jalur pendakian. Per orang kami bayar Rp 7000 untuk retribusi tanda masuk dan asuransi. Kami titipkan mobil hotel Javanaspa, tak lupa memberikan uang tip untuk security yang jaga pada saat itu.

“Lewat sini saja, lebih dekat” tuturnya. Sambil menunjuk jalan aspal khusus milik Hotel Javanaspa. “lebih hemat waktu 30 menit daripada lewat pintu utama jalur pendakian” tandasnya.

Akhirnya kamipun memtuskan untuk menuju air terjun terlebih dahulu dan esok hari baru kami tracking ke atas. Perjalanan menuju air terjun tidak begitu jauh, dari camp III sekitar sekitar 20 menit kami sudah sampai. Medan yang kami lalui cukup terjal dan licin. Diiringi gemericik suara air terjun yang terdengar sayup serta suara serangga yang berderik menambah kesenangan sendiri buat kami.

Gemuruh air terjun semakin terdengar keras, tanda kami semakin dekat dengan point pencapaian kami pertama. Sekalipun ini bukan air terjun terbesar di Gunung Salak, ini sudah cukup untuk sekedar merefleksikan kami kalau ciptaan Tuhan itu benar-benarr luar biasa. Tak lupa mengabadikan foto tentunya. 
Sebenarnya perjalanan ini bukanlah perjalanan yang disiapkan untuk dibuat catatannya. Namun begitu, seseorang yang sudah berani melakukan perjalanan, sudah seharusnyalah memiliki catatan perjalanan. Bukan untuk apa-apa, melainkan hanya sebagai cerita seorang kawan kepada kawannya, atau kepada anak cucunya kelak nanti.

Setelah puas dan mengabadikan gambar, kami naik keatas dan memutuskan untuk membuka tenda di camp III. Camp terdekat dengan mulut pintu jalur pendakian. Kami memilih spot ini karena dekat dengan sumber air dan MCK. Siap, 2 tenda kami buka mengawali perjalanan kami yang baru mencapai tahap intro pendakian. Saya dan Gino mulai memasang tenda, sedangkan teman-teman mulai melakukan tugasnya masing-masing. Rico dan Osmar berinisiatif mencari kayu untuk dibakar nanti malam, menyusul Herlinda, Fena dan Esther yang menyiapkan bahan makanan dan peralatan masak. Haripun semakin larut dan kabut pun mulai turun perlahan seiring dengan udara dingin.

Segelas kopi dan susu jahe begitu sempurna melengkapi malam itu di Gunung Salak. Sambil menunggu makanan yang tentu saja menggoda rasa lapar kami. Menu kami malam itu sungguh special, diracik oleh tangan-tangan yang “kurang berpengalaman” tetapi menjadi sangat nikmat dan sayang untuk dilewati. Saya rasa masakan Chief Juna dan Chief Farah Queen pun akan kalah pada malam itu… hehehe. Dan tak lupa kami mengabadikan gambar disekeliling sebagai dokumentasi kelak.

Matahari pagi mulai terlihat dibalik Gunung Gede Pangrango. Terlihat jelas dari tempat kami berada, saya pun terbangun mendengar suara Gino yang sudah bangun lebih dahulu. Indahnya pagi itu, seindah kasih Tuhan yang tidak pernah luput kepada kami. Hari ini, 16 Agustus 2013, kami putuskan untuk berjalan menuju Kawah Ratu. Dari Camp III masih diperlukan waktu sekitar 2,5 jam untuk menuju Kawah Ratu. Kawah ini terdiri 3 kawah. Kawah Ratu (paling besar), Kawah Paeh (kawah mati), Kawah Hurip (kawah hidup). Kawah Ratu termasuk kawah aktif dan secara berkala mengeluarkan gas berbau belerang. Dianjurkan agar berhati -hati setibanya di kawasan Kawah Ratu, perhatikan jalan yang dilalui. Di kiri-kanan tampak letupan -letupan kecil kawah aktif yang bersuhu sangat panas. Kawah ratu berupa sungai dengan batu-batuan belerang yang menghasilkan panas, air yang mengalir terasa hangat ada juga yang sangat panas.
Berbekal informasi dari security kami melalui jalan khusus tamu hotel.  Menyusuri jalanan beraspal dan pemandangan yang asri, kami berlabuh di pendopo untuk sekedar beristirahat dan makan siang disana. Indahnya alam yang diciptakan Tuhan. Setelah makan siang, mengisi perbekalan air dan tak lupa berfoto kami akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke kawah ratu. Salah satu spot ternama di Gunung Salak. Jalan yang kami lalui cukup terjal dan lembab. Tumbuhan-tumbuhan besar berderet rapi menghiasi keasrian dan juga akar-akar pohon besar yang melintang menutupi jalur perjalanan kami.

Salah satu jalur yang sering dipakai oleh pendaki gunung adalah dari Wana Wisata Cangkuang, Kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi. Dari tempat ini ada dua jalur pendakian, yakni jalur lama yang menuju puncak I dan jalur baru yang menuju Kawah Ratu. Wana Wisata Cangkuang sering digunakan menjadi perkemahan dengan pemandangan air terjun yang indah dan sering digunakan pendaki menuju ke Kawah Ratu. Dari jalur ini pula pendaki dapat menuju ke Puncak Salak I. Di pintu masuk Wana Wisata ini terdapat tempat yang nyaman untuk berkemah, juga terdapat banyak warung makanan. Dari jalur ini dapat menuju Kawah Ratu, waktu yang  diperlukan adalah sekitar 3-5 jam perjalanan. Sedangkan untuk menuju ke puncak Gunung Salak I diperlukan sekitar  8 jam perjalanan.

Dari perkemahan menuju shelter III memiliki jalur awal curam, kemudian lembab dan basah. Pada musim hujan jalur ini merupakan jalur licin dan curam, perjalanan tertolong oleh akar-akar pohon. Pada shelter ini terdapat sungai yang jernih dan terdapat tempat yang cukup luas untuk mendirikan tenda dengan pemandangan hutan tropis yang lebat. Menuju shelter IV, jalur semakin curam. Jalur ini berupa tanah merah. Di beberapa tempat, kamu akan melewati beberapa tempat becek sedalam dengkul kaki. Pada jalur ini juga pendaki akan melewati dua buah sungai yang jernih airnya. Untuk pendakian jalur ini sebaiknya mengambil air jernih di sini karena pada musim kemarau sungai ini menjadi sumber air bersih terakhir.
Sehelter IV merupakan persimpangan jalan. Ini dinamakan Simpang Bajuri. Untuk menuju ke Kawah Ratu ambil jalan ke kiri, sedangkan untuk menuju ke puncak Gunung Salak ambil jalur ke kanan. Di shelter ini memiliki area yang cukup luas untuk membangun tenda. Menuju Kawah Ratu Dari Shelter IV diperlukan waktu sekitar 1 jam. Di tempat ini dilarang mendirikan tenda dan dilarang minum air karena mengandung  belerang.













Gunung Salak memiliki banyak puncak di antaranya puncak Salak 1 dengan ketinggian 2.211 mdpl. Gunung Salak sejak jaman dahulu sudah sering dikunjungi oleh para pejiarah, dahulu terdapat patung pemujaan di puncak gunung Salak. Terdapat juga makam Mmbah Gunung Salak yang sering dikunjungi para peziarah.

Di kaki Gunung Salak banyak terdapat tempat-tempat keramat, makam keramat ada juga pura dengan sebutan Kuil Prabu Siliwangi . Pendakian terbaik dilakukan pada musim kemarau, karena pada musim penghujan jalur menjadi becek seperti rawa, licin. Selain itu angin seringkali bertiup kencang.

Mitos Gunung Salak yang terkenal Mistis tidak terlalu menyeramkan bagi kami saat itu, pemandangan yang menarik dan pengalaman baru melunturkan ketakutan kami. Tepat tanggal 17 Agustus 2013, kami tak meninggalkan Momment berharga itu. Kami melaksanakan upacara dengan hikmat dan tak lupa berdoa untuk Indonesia tercinta.. salam Fun Hiking.